Kamis, 08 Agustus 2013

Vila Salazar Atau Baucau

Suatu malam, pada tanggal 9 Desember 1975, di bawah sinar lampu petromak di Pangkalan udara Penfui, Letkol Sugiarto sebagai Komandan Satgas Linud mengelar peta hitam putih buatan Portugis. Briefing penyampaian Perintah Operasi dimulai, diikuti oleh para Komandan satuan dan perwira Operasi. Masing-masing dari Brigade 17 Linud Kostrad, Kopassus dan Kopasgat (saat ini disebut Paskhas). Lembar peta itu berjudul “Vila Salazar” nama Portugis sebutan lain dari kota baucau. Cila Salazar terletak di pantai utara di sebuah dataran tinggi pulau Timor bagian Timur. Selintas terbayang cantiknya bangunan klasik, tebing karang, buih putih dan laut biru.
Bayangan indah itu pun lenyap seketika dan jantung pun berdebar ketika Letkol Sugiarto mengakhiri Perintah Operasinya dengan “ada pertanyaan?” beberapa saat hening mencekam, tidak ada satupun pertanyaan. Yang pasti, besok pagi buta, tangal 10 Desember 1975, serbuan vertical dari udara akan dilaksanakan oleh prajurit-prajurit pasukan payung untuk merebut sebuah lapangan terbang di Vila Salazar. Semua sudah jelas, sebuah lingkaran hitam dan garis-garis pembagi berikut lingkaran-lingkaran kecil diatas peta, itu adalah lukisan apa yang disebut ground tactical planning atau rencana taktis darat dari suatu operasi serbuan Linud yang menggambarkan air head atau tumpuan udara, berisi pembagian sector, dropping zone (DZ), sasaran-sasaran yang akan direbut dan titik-titik kumpul bagi pasukan paying. Rencana taktis darat merupakan bagian penting dari Perintah operasi penerjunan. 
Pada tanggal 10 Desember 1975, 8 pesawat C-130 Hercules mengangkut pasukan Brigade 17/Linud Kostrad, Kopassus, dan Kopasgat dari Pangkalan Udara Penfui Kupang. Pesawat-pesawat angkut C-130 Hercules mendapat perlindungan dari pesawat B-26 Infader yang diterbangkan oleh Mayor Pnb Sumarsono. Pilot leader adalah Letkol Pnb Suaka Diro dengan sandi penerbangan “Rajawali Flight”. Pesawat pertama terbang dengan ketinggian 1200 kaki, perbedaan ketinggian 50 kaki dengan pesawat beriutnya. Untuk menuju titik penerjunan, pesawat mendekati sasaran dari laut dengan arah penerbangan 170 derajat sebelum melintas tepat diatas daerah penerjunan. Untuk melakukan koordinasi antara pesawat angkut dan pesawat yang akan melakukan serangan udara, “Rajaawli Flight” selalu mengadakan kontak radio dengan pesawat B-26 Infader.
Penerjunan sorti pertama yang dimulai pukul 07.20 waktu setempat, sangat mengagetkan Antonio Reisda Silva Nunes, Komandan asrama Baucau. Ia tidak sempat melakukan konsolidasi dengn pasukannya, sehingga segera meninggalkan Baucau. Setelah mendarat, tim pengendali tempur (Dalpur) Detasemen B Kopasgat segera berkomunikasi lewat radio dengan pesawat Pembom B-26 Infasder. Komunikasi ini bertujuan agar pesawat B-26, apabila diperlukan,. Apabila diperlukan, dapat memberikan bantuan tembakan udara yang tepat sasaran. Karena pasukan telah berhasil menguasiai keadaan, maka Mayr Pnb Sumarsono melaporkan bahwa saat ini pasukan darat belum memerlukan bantuan tembakan.
Gugus tugas Kopasgat saat itu tersusun dalam Detasemen B berkekuatan 156 orang yang dipimpin oleh Kapten Psk Afendi. Kapten Psk Jack Hidayat sebagai wakil, kapten Psk Budhy Santoso (Dankorpaskhas 1996 – 1998, dan sesmil Presiden RI 1998) sebagai Kasi Intelijen dan Operasi, apten Psk Edison Siagian sebagai Kasi Personel dan Logistik, Kapten Lek Rudolf Malo sebagai Komandan Tim Pengendali Pangkalan (Dallan) dan Perwira Kopasgat yang lain dalam Detasemen tersebut adalah Kapten Psk Wahyu Wijoyo (Wadan Korpaskhas 1996-1998 serta Letda Psk Daromi -Dandepodiklat 1998-20..). Kontinua

SERBUAN PASUKAN UDARA DI DILLI 1975

Ketika Presiden Amerika Serikat Gerald Ford yang didampingi oleh Menteri Luar Negeri Henry Kissinger mengadakan pertemuan dengan Presiden Suharto di Istana Merdeka, Jakarta, pada tanggal 6 Desember 1975 pukul 08.00, hari itu merupakan hari H-1 bagi operasi serbuan pasukan linud dan pendaratan amfibi di Dili. Bahkan Hari-H bukan lagi dalam hitungan hari, tetapi dalam hitungan jam. Jam-J tinggal menunggu waktu kurang dari 24 jam. Menyingung masalah Timor Timur dalam pertemuan itu, maka tidak sulit bagi Presiden Suharto bahwa Indonesia yang telah menggagalkan perebutan kekuasaan partai komunis dalam tahun 1965, menyalahkan komunis atau golongan kiri yang akan menguasai Timor Portugis. Hal ini disebabkan Amerika Serikat sedang mengalami trauma tentang jatuhnya Pemerintah non-komunis di Vietnam dan Kamboja pada bulan April 1975. Pemerintah non-komunis Laos juga jatuh ke tangan komunis pada tahun yang sama. Peristiwa ini menguatkan teori domino yang mengatakan jika salah satu negara non-komunis jatuh, maka negara non-komunis lainnya akan jatuh juga. Presiden Ford tahu bahwa peralatan militer buatan Amerika Serikat dipakai dalam operasi militer Indonesia di Timor Portugis. Pada waktu itu Menteri Luar Negeri Kissinger sempat bertanya, "Itu alat-alat militer buatan Amerika Serikat dipakai (di Timor Portugis) atau tidak?"kontinua....

Peninggalan Sejarah dan Purbakala di Baucau

Peninggalan Sejarah dan Purbakala di Baucau
Baucau (baca baukau) di Timor Timur dahulu adalah nama kabupaten dan juga nama ibukota kabupaten di bekas salah satu provinsi di Indonesia yaitu Timor Timur. Di daerah ini banyak terdapat peninggalan sejarah dan kepurbakalaan yang sangat penting sejak masa parsejarah hingga sekarang.

Keadaan Alam
Panorama sepanjang perjalanan (darat) sejauh kurang lebih 100 km dari Dili ke arah timur melalui pantai, bukit-bukit, lembah dengan hamparan padang rumput dengan flora dan fauna yang khas. Diselingi pula kehidupan pedesaa dengan rumah-rumah yang kecil berbentuk bulat atau persegi dengan ternak kambing, lembu atau kerbau yang setengah liar. Pasar-pasa tradisional yang terdapat di tepi jalan raya di bawah pohon-pohon rindang itulah tempat berkumpulnya masyarakat desa untuk menawarkan dan membeli keperluan mereka sehari-hari seperti sirih-pinang, ayam jago, sayur-mayur, umbi-umbian, barang-barang anyaman, hasil tenun dan babi. Pasar itu “hidup” pada pagi hari dan setelah matahari menyengat tubuh, pasar pun bubar dan suasana kembali sepi.


Jadi di samping peninggalan budaya masih banyak segi-segi kehidupan lain yang menarik berkat sifatnya yang khas. Bagai Baucau alamnya pun cukup mempesona baik daerah pantai maupun pedalaman. Di Timor Timur yang langka akan dataran tinggi, di Baucau begitu luas dataran tingginya hingga cukup untuk lapangan terbang yang bertaraf internasional.

Kota Baucau lebih menarik lagi. Kota ini miring dan melandai ke arah timur. Garis pantai tampak sayup-sayup di sebelah timur. Pada pagi hari tampak dari tengah kota matahari terbit kemerahan menyembul dari tengah lautan. Kota ini dikelilingi oleh tebing-tebing kapur yang banya goa-nya. Kota yang berundak-undak ini di bagian barat “dibelah” oleh sungai kecil airnya jernih. Air yang terus mengalir di musim kemarau merupakan rahmat Tuhan yang tiada terhingga di daerah ini. Di bagian tengah kota banyak bangunan modern, sedang di daerah pinggiran banyak bangunan tradisional.

Di samping dataran tinggi dan perkotaan, di Baucau banyak bukit-bukit dengan hutan dan pedesaan. Suatu daerah yang cukup menarik adalah Vinilale yang daerahnya berbukit-bukit dan ibukotanya pun terletak di atas bukit.

Peninggalan Sejarh/Purbakala
Bila kita simak laporan tim pengumpul data peninggalan sejarah dan purbakala tahun 1983 Direktorat Perlindungan dan Peninggalan Sejarah dan Purbakala, maka di kota Baucau kita dapatkan lapisan-lapisan budaya yang menarik.

Tebing-tebing kapur yang mengelilingi kota terdapat goa-goa yang pernah menjadi tempat berlindung atau hunian manusia pada masa prasejarah. Lingkaran ini dapat kita sebut sebagai lingkaran pertama atau lingkar budaya prasejarah. Di antara goa-goa itu yang pernah diamati oleh tim pengumpul data adalah beberapa goa di Tirilolo Baucau Selatan. Pada pengamatan permukaan diperoleh bukti-bukti peralatan dari masa prasejarah, khususnya dari tradisi neolit seperti kapak genggam pada ceruk III, pecahan-pecahan gerabah pada ceruk II. Di samping itu juga diteukan sisa kerang, siput serta sisa-sisa flora dan fauna yang lain.

Lapisan kedua adalah budaya dan kehidupan masyarakat masa kini, tetapi masih berlangsung secara tradisional. Lapisan ini termasuk masyarakat pinggiran kota yang bermukim berdekatan dengan goa-goa. Bahkan mereka masih memanfaatkan goa terutama untuk kandang ternak. Halaman atau dinding-dinding goa ditanami waluh atau sejenis labu, tanaman yang tahan panas, sedang tanah yang dekat aliran air ditanami pisang.

Rumah penduduk rata-rata kecil dan rendah dengan bahan yang tersedia di sekitarnya seperti rumbia, pelepah pohon nipa atau sejenis palem, ilalang dan cabang-cabang kayu (semak). Kayu-kayu yang cukup besar dan panjang memang langka. Untuk pemagaran pekarangan atau kandang pun mereka lebih banyak menggunakan timbunan batu kapur daripada kayu. Oleh karena itulah goa-goa banyak dimanfaatkan sebagai penambah ruang untuk keperluan kehidupan rumah tangga.

Lapisan ketiga adalah bagian tengah kota yang dapat dikategorikan apisan budaya modern, khususnya lapisan budaya yang telah mendapat banyak pengaruh Barat. Seni bangunan yang mendapat pengaruh Portugis di sini sangat menarik, dengan berlanggam campuran Gothiek dan Romans yang disesuaikan dengan keadaan alam dan lingkungan. Ciri-ciri bangunan itu antara lain: lantai lebih tinggi dari halaman, trap atau tangga naik ke halaman atau lantai bangunan ditata secara artistik, pintu atau jendela berbentuk lengkung, atap termasuk bubungannya ditata sangat rapi, garis-garis vertikal maupun horizontal sangat tegas sehingga bangunan tampak kokoh dan sekaligus indah. Contoh bangunan kuna gaya Portugis di Baucau yang sangat menarik adalah Mercado Municipal, gedung Sekolah dan hotel Flamboyant. Mercado adalah bangunan pasar yang tak kalah indahnya dengan bangunan supermarket masa kini. Bangunan ini masih terawat rapi meskipun tidak digunakan untuk berjual-beli lagi. Sekolah dengan halamannya yang sangat luas digunakan untuk kepentingan keamanan, sedeng hotal Flambyant yang mungil masih digunakan untuk penginapan.

Kecuali kota Baucau yang begitu menarik, masih banyak objek sejarah/kepurbakalaan di luar kota. Bila perjalanan kita teruskan ke arah timur maka kurang lebih setengah jam berkendaraan kita jumpai goa-goa buatan yang dibangun pada masa penjajahan Jepang. Letaknya di tepi jalan raya sehingga tidak sulit dijangkau. Pada satu kelompok terdapat tujuh mulut goa sehingga masyarakat setepat menamakannya Goa Tujuh. Bagaimana keadaan di dalamnya, apakah satu sama lain berhubungan belum kita ketahui sebab belum ada kesempatan untuk meneliti. Yang jelas masing-masing ada jalan setapak yang kelihatan dari pintu masuk dan jelas bukan (belum) merupakan kegiatan wisatawan sehingga dapat diduga bahwa goa-goa itu masih berfungsi sebagai sasana aktivitas masyarakat.

Sampai di kota Vinibale yang terletak di atas bukit kita temui lagi bangunan-bangunan yang menarik. Disamping rumah-rumah tradisional kita jumpai bangunan yang halamannya sangat tinggi bila dibandingkan dengan permukaan tanah di sekitarnya, berbentuk empat persegi. Di tengah halaman terdapat bangunan yang pada waktu itu (tahun 1983) digunakan sebagai tempat penjagaan. Ternyata seluruh bangunan itu memang suatu benteng yang diberi nama Benteng Kota Braga. Dari benteng ini kita dapat mengamati bukit-bukit dan lembah-lembah sejauh kemampuan mata memandang.

Lebih kurang 200 meter dari benteng Kota Baraga di Vinilale kita dapatkan gedung sekolah lama gaya Portugis yang sangat mirip dengan yang terdapat di Baucau kota, bahkan relatif masih lebih utuh. Halamannya dihiasi dengan taman yang lumayan antara lain dihias miniatur rumah tradisional. Gedung sekolah ini masih menyimpan nama asli yang dipahatkan di atas pintu utamanya yakni “ESCOLA DO REIMO DE NINILALE”.

Menurut informasi setempat yang diperoleh (oleh Soekantno Tw, selaku pimpinan tim pendata kepurbakalaan 1983 dan penulis artikel ini), di sekitar daerah ini masih sering dilakukan upacara-upacara tradisional di sekitar tempat keramat. Juga masih terdapat goa-goa prasejarah serta tradisi megalitik, yang disebut “Uatu Luliek” (Batu Suci) yang kadang-kadang menjadi satu kompleks dengan “Uma Luliek” atau rumah suci.

Dengan sepintas tinjauan kita atas Kabupaten Baucau pada propinsi termuada ini jelas bahwa daerah ini pun kaya akan warisan budaya yang berasal dari masa prasejarah maupun zaman modern. Warisan ini amat penting untuk modal pembinaan budaya lebih lanjut serta sangat potensial untuk kepariwisataan di Timor Timur atau yang sekarang lebih dikenal dengan nama Timor Leste.

Sumber:
Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1991. Aneka Ragam Khasanah Budaya Nusantara II. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.


http://wisata-kami.blogspot.com/2009/04/peninggalan-sejarah-dan-purbakala-di.html

Rusa Fuik

Rusa Timor (Cervus timorensis) di Timor?

Identifikasi tentang rusa timor (Cervus timorensis) pertama kali dipublikasikan tahun 1822 oleh seorang ahli zoologi dan anatomi asal Perancis bernama Henri Blainville. Sejauh ini tidak diperoleh data historis mengenai penemuan mamalia dengan genus cervus yang berasal dari species cervus timorensis ini. Namun berdasarkan namanya diyakinkan bahwa spesies rusa ini ditemukan di daratan Timor, sebagaimana tradisi pemberian nama oleh para ahli dan peneliti Eropa, selalu menggunakan bahasa Latin dengan penamaan setempat. 

Disayangkan banyak yang beranggapan bahwa rusa timor berasal dari Jawa, Bali atau NTB dibandingkan dengan Pulau Timor sendiri. Bahkan di NTB rusa timor dijadikan fauna identitas Provinsi Nusa Tenggara Barat yang tertera dalam logo provinsi. Selain itu rusa timor juga sering disebut rusa Jawa dan dengan beberapa sinonim diantaranya Cervus celebensis (Rorig, 1896),Cervus hippelaphus (G.Q. Cuvier, 1825), Cervus lepidus (Sundevall, 1846),Cervus moluccensis (Quoy & Gaimard, 1830), Cervus peronii (Cuvier, 1825),Cervus russa (Muller & Schlegel, 1845), tetapi Blainville lah yang lebih awal menamai jenis rusa ini Cervus timorensis.

Pada akhirnya dengan mengasumsikan rusa timor memiliki habitat awal di Pulau Timor maka dibuatkan lagi penamaan sub species dari jenis Cervus timorensis yaitu Cervus timorensis timorensis (Martens, 1936), walau agak lucu dengan penamaan double atau kuadrat. Mamalia ini diidentifikasi berada di Pulau Timor, Pulau Rote, Pulau Semau, Pulau Kambing dan Pulau Alor. Sebagai catatan di Pulau Kambing yang terletak di antara Pulau Timor dan Pulau Semau, pernah terdapat kawanan rusa namun kemudian semuanya mati kurus karena sumber air tawar mulai tercemar dengan zat belerang. Sedangkan untuk Pulau Timor, konon kabarnya di tahun 80-an rusa dengan mudah ditemukan di padang savana Pulau Timor, seperti sering terlihat juga di hutan-hutan pinggiran Kota Kupang yang saat ini merupakan wilayah Kelurahan Fatukoa dan Naioni. Kini rusa timor di Pulau Timor sangat sulit ditemukan bahkan mungkin nihil.

Rusa timor merupakan salah satu jenis rusa asli Indonesia selain rusa bawean, rusa sambar dan rusa menjangan. Rusa timor merupakan penghuni tertua Pulau Timor sehingga Pulau Timor merupakan habitat awal rusa timor yang sepatutnya dapat dilestarikan kembali di Pulau ini, mengingat juga bahwa Kanguru diperkirakan pernah ada Pulau Timor namun telah punah total.Kemudian juga bahwa rusa timor dapat menyebar dan berkembang biak di tempat yang baru karena memiliki kemampuan adaptasi yang baik, mulai dari pulau-pulau sekitar seperti Rote Ndao, Sumba, Flores, Alor dan kemudian hampir ke seluruh nusantara bahkan hingga ke Australia dan Selandia Baru. Penyebaran rusa timor sejak abad ke-18, dilakukan oleh orang Belanda yang memang gemar mengoleksi hewan liar yang kemudian juga diperdagangkan antar pulau oleh para pelaut.

Di abad ke-17 hingga ke-19, orang timor telah berburu rusa timor namun ada wilayah yang di namakan hutan larangan karena merupakan milik raja untuk berburu. Saat itu dipergunakan senapan kuno berupa senapan tumbuk, yaitu senapan berlaras panjang yang diberi mesiu dan dipadatkan di dalam (ditumbuk), dengan pelor terbuat dari timah atau besi dan hanya untuk sekali tembak dan diulangi lagi dari awal memasukkan mesiu. Diceritakan dalam sekali perburuan bisa menghasilkan puluhan rusa yang kemudian dikuliti dan dagingnya dibagi-bagikan untuk dibuatkan dendeng.

Di tahun 70-an harga dendeng daging rusa timor di pedalaman timor seharga Rp. 750,- per kilo gram, bandingkan dengan harga emas di tahun 70-an yangadalah Rp. 480,- per gram. kemudian di tahun 80-an mulai banyak yang menjual daging rusa di sepanjang jalan trans Timor, selain itu mereka juga menjual tanduk rusa. Entah kenapa saat itu juga banyak rusa timor yang nyasar ke perkampungan masyarakat, yang tentunya kemudian ditangkap dijadikan dendeng dan dijual di pasar atau pinggir jalan.

Rusa timor  termasuk satwa yang dilindungi berdasarkan PP No. 7 Tahun 1999 dan sejak tahun 2008 rusa timor dimasukkan dalam status konservasi rentan (vulnerable) oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN). Padahal di beberapa dekade sebelumnya bahkan hingga kini rusa timor telah diburu dan dimanfaatkan sebagai sumber daging hewani, kulit dijadikan tikar atau alas duduk dan tanduknya dijadikan barang pajangan di ruang tamu. 
Saat ini ada wacana prospek pengembangan penangkaran rusa timor (Cervus timorensis), bahkan ada yang berkeinginan agar hasil penangkaran dijadikan sebagai stok perburuan. Hal ini sah-sah saja sebagai sebuah usaha konservasi dan sekaligus komersialisasi. Tentu ini dapat menjadi salah satu hal yang perlu dipikirkan oleh perorangan, swasta, organisasi non pemerintah dan khususnya Pemerintah Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur sebagai sebuah provinsi yang lagi gencar dalam pengembangan peternakan menyongsong swasembada daging nasional. Walaupun memang tidak mudah untuk melakukan sebuah loncatan pemikiran, bahkan dengan rujukan Pulau Timor dan sekitarnya adalah habitat awal rusa Timor. Karena beberapa aspek perlu dipikirkan kembali dalam kaitan dengan kondisi habitat yang mendukung keberlanjutan rusa timor seperti ketersediaan pakan (food), pelindung(cover), air (water), ruang (space). Begitu juga bahwa rusa timor merupakan ternak spesifik, dibandingkan dengan ternak lainnya.

Sementara itu produk daging rusa timor memiliki keunggulan diantaranya memiliki rasa khas, berkhasiat, daging berserat halus, dan terutama kandungan lemak dan kolesterol yang lebih rendah daripada daging sapi, sehingga potensial dapat mendukung kebutuhan daging nasional. Sedangkan tanduknya dapat dimanfaatkan sebagai racikan obat-obatan. Selain itu kulit rusa banyak dimanfaatkan untuk bahan kerajinan tangan karena memiliki kualitas yang lebih baik dari kulit hewan ternak lainnya. Dengan melihat potensi tersebut, maka ternak rusa timor bisa memiliki nilai ekonomi yang tinggi dan mempunyai prospek yang menarik untuk dapat dikembangkan sebagai sebuah komoditi unggulan baru di wilayah Nusa Tenggara Timur. Prospek pengembangan dapat diarahkan ke agribisnis, agroindustri dan agrowisata dengan potensi pasar dari di dalam dan luar negeri.

Rabu, 07 Agustus 2013

Pulau Timor

Pulau Timor dengan luas sekitar 30.777 km² ini, terletak dibagian selatan nusantara. Dalam sejarah politik pulau ini dipartisi menjadi dua bagian selama berabad-abad akibat penjajahan. Melalui perjanjian Lisboa pada tahun 1859, Belanda dan Portugis menjalin kesepakatan bahwa Belanda menguasai bagian barat pulau Timor dan Portugis menguasai bagian timurnya. Sekarang Timor Barat atau dahulu dikenal sebagai Timor Belanda sampai 1949, telah menjadi bagian Provinsi Nusa Tenggara Timur - Indonesia, sedangkan Timor Timur atau dahulu dikenal sebagai Timor Portugis, sebuah koloni Portugis sampai tahun 1975 dan sempat menjadi bagian dari Indonesia hingga tahun 1999, dan pada tahun 2002 telah menjadi negara merdeka Republik Demokratik Timor Leste. Walau demikian menurut legenda masyarakat di Pulau Timor baik di bagian barat maupun timur sebagai akar sejarah budaya yang sama sebelum kedatangan imprealisme, bahwa Pulau Timor berasal dari buaya(Crocodylidae) yang menjelma menjadi sebuah pulau.

Deskripsi pertama tentang bentuk Pulau Timor yang memanjang dan beberapa hal lainnya seperti keberadaan penduduk, pola perdagangan dan kedudukan raja-raja dilakukan oleh seorang kadet kapal Victoria yang bernama Antonio Pigaffeta, saat menyusuri pantai utara Pulau Timor dari timur ke barat di tahun 1522, yang merupakan satu-satunya kapal yang tersisa dari lima kapal armada Magelhaens yang berlayar dari Sevilla Spanyol, dengan tujuan maluku dan berhasil kembali ke Spanyol. Hal inilah yang membuat Pulau Timor mulai di kenal dalam sejarah perdagangan masa lalu, yang kemudian menjadi ajang rebutan antara Belanda dan Portugis, untuk menguasai komoditas utama pulau ini, cendana.

Pulau Timor dan mitologi Pulau Buaya, setidaknya telah muncul dalam buku seri pendidikan budaya berjudul “Cerita Rakyat dari Timor Timur”, Karya Nyoman Suarjana, terbitan PT. Gramedia Widiasarana Indonesia (Grasindo), Jakarta tahun 1993. Terdapat sebuah cerita tentang “Legenda Terjadinya Pulau Timor”, cerita tersebut berkisah tentang seorang anak lelaki di Makassar yang menemukan seekor anak buaya sedang tersesat dari sarangnya dan mengalami kepanasan karena teriknya matahari musim kemarau saat itu. Anak buaya itu telah sekarat, karena iba iapun ditolong oleh anak lelaki tersebut. Dibawanya anak buaya itu hingga ke tepi danau, akhirnya anak buaya itu selamat. Lalu berkatalah sang anak buaya"mulai saat ini kita berjanji menjadi sahabat karib. Sembarang buaya tidak boleh mengganggumu. Bila kamu ingin bermain di air atau di laut, panggil saja 'hai sahabat, anak buaya, balaslah budi', saya akan segera membawamu di punggung dan pergi ke mana saja sesukamu. Seandainya kamu mau kita berangkat sekarang juga!" ajak anak buaya tersebut. Maka anak lelaki itupun dibawa berenang ke sana ke mari, bahkan hingga menyelam ke dasar laut melihat keindahan bawah laut. Hal itu dilakukan terus menerus, hingga suatu saat anak buaya itu merasa kelelahan dan jenuh karena punggungnya selalu dinaiki anak lelaki itu, maka muncul niat untuk memangsa anak lelaki itu. Sebelum ia melakukannya, ia meminta beberapa pendapat dari penghuni laut lainnya seperti ikan, hingga binatang darat seperti kera, semuanya tidak membenarkan apa yang akan dilakukan buaya, karena kebaikan tidak boleh di balas dengan niat jahat. Buaya tersebut akhirnya merasa menyesal karena punya niat mencelakakan sahabatnya. 

Ketika anak buaya dan sahabatnya tengah berenang di perairan Laut Timor saat ini, anak buaya itu berkata “sahabatku yang budiman, budi baik yang telah kamu perbuat kepadaku tak mampu kubalas. Aku sangat malu karena berniat membunuhmu. Sekarang ajalku sudah dekat, jasadku akan menjadi tanah. Tanah itu akan menjadi daerah yang sangat luas, Semoga kamu, anakmu, cucumu dan semua keturunanmu dapat menikmati kekayaanku yang melimpah sebagai balas budi yang telah kaulakukan terhadap diriku”. Setelah itu, anak buaya itu mati, lalu jasadnya berubah sedikit demi sedikit menjadi daratan. Punggung buaya yang runcing berubah menjadi deretan pegunungan yang membujur dari ujung barat sampat ujung timur. 

Namun juga ada versi lain yang menyebutkan bahwa setelah anak itu dewasa baru bertemu kembali dengan buaya yang kini telah bertambah besar pula. Sang buaya mengajak pemuda tersebut menaiki punggungnya dan berenang mengarungi lautan. Hal itu dilakukan terus menerus hingga sang pemuda berkeluarga memiliki isteri dan anak, buaya melindungi seluruh keluarga pemuda itu. Ketika merasa akan tiba ajalnya, buaya itu meminta agar pemuda itu berserta keluarganya, dengan berujar bahwa ia akan mati dan jasadnya akan menjadi pulau di mana pemuda beserta keluarganya akan tinggal untuk selama-lamanya. Maka menjelmalah berlahan-lahan tubuh jasad buaya itu menjadi pulau yang kemudian dihuni oleh manusia.

Hingga kini adat leluhur masyarakat Timor menyebut buaya dengan kakek yang akan selalu menjaga dan melindungi mereka. Selain itu ada beberapa versi cerita lainnya lagi, namun esensinya sama bahwa seekor buaya bersahabat dengan manusia, yang akhirnya membalas budi kepada seorang manusia karena telah ditolong sebelumnya. Cerita-cerita itu menjadi populer bagi anak-anak baik dari buku dongeng hingga siaran radio anak-anak, sebagai pendidikan budi pekerti bahwa kebaikan sesungguhnya akan di balas dengankebaikan dan bahwa kejahatan akan selalu tidak dikehendaki oleh semua pihak. 

Alhasil buaya menjadi binatang yang dikramatkan, bahkan ada cerita juga yang menyatakan bahwa buaya tidak boleh diburu, dibunuh dan dilarang memakan dagingnya. Orang-orang Timor menyebut bahwa buaya itu leluhur atau nenek moyang mereka. Bila ada orang yang digigit buaya, mereka menganggap bahwa orang itu telah melakukan kejahatan atau dikutuk leluhur atau nenek moyang mereka. Buaya kemudian dijadikan binatang totem sebagai pengejewantahan kekuatan kosmis dewa-dewa. Binatang totem begitu dihargai sehingga tidak boleh dilukai, disakiti atau diburu. Konsep terhadap binantang totem ini tumbuh dari tradisi lisan yang diwariskan turun-temurun dari leluhur dan diyakini oleh seluruh anggota suku di Timor. Bukan hanya di Timor yang meyakini bahwa buaya adalah asal usul nenek moyang mereka, karena seperti daerah Lembata, Flores bagian timur juga meyakini hal tersebut. Demikian juga dengan asal cerita legenda terjadinya Pulau Timor Karya Nyoman Suarjana seperti yang telah diceritakan di atas, yang menyebutkan asal usul penghuni Pulau Timor berasal dari Makassar, maka kemungkinan mitologi ini yang tumbuh dan berkembang dari Timor Timur, kala itu memang dipengaruhi oleh Kebudayaan Gowa (Makassar) saat itu, yang juga memiliki kisah mitologi buaya. 

Kisah pulau yang berasal dari buaya ini telah mendunia dan dibaca atau diceritakan kepada anak-anak sebagai dongeng menjelang tidur. Mungkin karena telah membaca kisah buaya ini dan menjadi inspirasi, seorang ilustrator asal Portimao - Portugal, bernama Luis Peres melukiskan Timor Island - Crocodile version (2009) untuk buku cerita anak-anak. Ilustrasi ini menguatkan julukan Pulau Timor sebagai The Land of The Sleeping Crocodile atau negeri di mana buaya tidur selamanya. Memang ada perdebatan yang mengatakan bahwa kepala buaya itu berada di barat (Kupang) dan ekornya berada di timur (Lautem) atau sebaliknya, namun hal itu, tidak mengurangi kepercayaan masyarakat Timor terhadap mitologi pulau buaya ini

Dalam sebuah artikel yang ditulis Anne Lombard-Jourdan berjudul “François Péron dan Charles Lesueur, Perburuan Buaya di Timor pada 1803” yang dimuat dalam majalah Archipel menceritakan kisah tentang adanya perburuan buaya di Pulau Timor. Disebutkan bahwa pada abad ke-17, pantai Pulau Timor banyak ditemukan buaya yang pada malam harinya banyak berkeliaran di rawa-rawa dan juga sekitar Benteng Concordia hingga rumah penduduk di tepi sungai, demikian juga dengan kisah beberapa orang yang berenang dilahap buaya. Masih menurut tulisan artikel tersebut, bahwa penduduk Timor begitu takut dengan buaya hingga mereka memuja dan juga menganggap sebagai monster liar. Di jaman sebelumnya jika ada perselisihan antar warga, maka untuk memutuskan mana yang benar dan atas perintah raja, dua orang akan ditenggelamkan dalam danau yang penuh buaya, seseorang yang selamat keluar dari danau, dialah yang benar. Saat itu para pemburu Eropa ingin menangkap buaya, tetapi orang Timor enggan membantu, namun para pemburu seolah memaksakan hingga diperingatkan akan mati jika memburu buaya tanpa didampingi oleh orang Timor. Mereka akhirnya berhasil menembak seekor buaya di Babau (30 Kilometer dari Kupang) dan kemudian kerangkanya dibawa ke Prancis untuk kepentingan penelitian. Menurut catatan, panjang buaya bisa mencapai 8,25 hingga 12 meter, karena tidak diburu dan dibunuh maka buaya saat itu lebih besar dibandingkan buaya saat ini.

Menurut sumber di atas, panjang buaya bisa mencapai 8,25 hingga 12 meter, entah itu sebuah kebenaran atau tidak. Karena saat ini hanya seekor buaya raksasa dari Kepulauan Mindanao di Filipina, dengan panjang 6,17 meter dan berat satu ton yang telah ditetapkan sebagai reptil terbesar di dunia olehGuinness Book of World Records (2012). Sedangkan rekor dunia untuk kategori reptil terbesar sebelumnya dipegang oleh seekor buaya yang ditangkap di wilayah Northern Territory, Australia dekat dengan Pulau Timor pada tahun 1984, dengan panjang 5,48 meter dan berat hampir satu ton. Hingga saat ini masih sering ditemukan buaya di pesisir pantai di Pulau Timor.

Dalam perkembangannya, mitologi pulau buaya ini menjadi inspirasi kesenian bagi masyarakat di Pulau Timor ini. Sebagai binatang totem yang disakralkan, mereka mengekpresikan buaya dalam wujud benda kebudayaan yang menunjukkan relasi antara masyarakat Timor saat ini dengan leluhurnya. Hal ini dapat dilihat dari adanya motif-motif gambar atau ukiran buaya pada kayu atau tenun ikat. Seperti terlihat pada motif selimut tenun ikat yang bergambar buaya, disamping motif kalajengking yang berasal dari Niki-Niki wilayah Timor Tengah Selatan, Timor Barat  dan motif fauna buaya pada kerajinan kain Tais dan ukiran patung buaya yang berasal di Timor Leste. 

Tidak hanya buaya yang disakralkan dalam masyarakat Timor, ada juga binatang melata lainnya yang merupakan representasi buaya yang dikramatkan yaitu cicak (Cosymbotus platyurus)  dan tokek (Gekko gecko). Tabu untuk mereka menyakiti binatang-binatang tersebut karena dianggap sebagai pembawa kesejukan. Jika dalam sebuah percakapan keluarga, tiba-tiba terdengar cicak yang berbunyi, maka percakapan itu akan membawa suka cita dan memberi rahmat bahwa apa yang dikatakan akan berdampak baik. Demikian juga dengan adanya tokek yang masuk dalam rumah, enggan masyarakat untuk mengusirnya dan membiarkannya hidup di dalam rumah, karena dianggap dapat mendinginkan rumah (baca: memberikan kesejukan hidup). Entah hal-hal ini masih dipegang kuat oleh masyarakat atau seiring berjalannya waktu, mitologi inipun mulai redup secara berlahan, dengan menguatnya rasionalitas masyarakat. Demikianlah kiranya mitologi tentang Pulau Timornya dan pengaruhnya dalam kehidupan masyarakat di Pulau Timor

Timor Leste Munisipiu Map point